HASAN
AL-BANNA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Dosen Pengampu : Moch.
Iskarim, M.S.I
Mata kuliah :
Studi Tokoh Pendidikan Islam
Kelas :
D
Disusun Oleh :
1.
Ayu Nabila (2021
111 025)
2.
Eka Kurnia Riski (2021 111 251)
3.
Labibah (2021
111 254)
4.
Dzati Ismah (2021
111 263)
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Pendidikan
Islam diperkirakan berkembang sejalan dengan latar belakang sejarah penyebaran
agama Islam. Seperti diketahui penyebaran agama Islam berawal dari Mekkah,
namun demikian baru membangun dirinya sebagai sebuah peradaban adalah di
periode Madinah.
Pada
awalnya pendidikan Islam berlangsung secara sederhana, dengan masjid sebagai
proses pembelajaran. Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan kegiatan
kependidikan pada masa Islam klasik, telah membawa Islam untuk mencapai tingkat
keemasan bagi perkembangan keilmuan klasik menuju keilmuan modern.
Kontribusi
pendidikan bagi pembentukan corak dan kualitas masa depan peradaban umat
manusia tidak dapat dipungkiri apalagi dinafikan. Pendidikan hingga hari ini
tetap diyakini sebagai wahana strategi untuk membuka wawasan dan memberikan
informasi yang berharga mengenai makna dan tujuan hidup serta norma-norma yang
harus dipeganginya. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan apabila Islam
sebagai sistem ajaran yang komprehensif sangat mengedepankan bidang
pendidikan dalam kancah pergumulannya.
Adanya
pengaruh peradaban Barat-modern yang sekuler ini melanda ke berbagai segi kehidupan,
tidak terkecuali di bidang pendidikan. Melihat adanya pengaruh ini para tokoh
pemikir muslim berusaha untuk mencari solusinya dengan memformulasikan sistem
pendidikan yang bisa menghasilkan sosok individu dan masyarakat yang seimbang.
Salah seorang tokoh pemikir muslim kontemporer yang menawarkan pemikiran
kependidikannya adalah Hasan al-Banna, pendiri dan pemimpin gerakan Ikhwanul
Muslimin.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Nama lengkap
Hasan al-Banna adalah Hasan bin Ahmad bin Abdur Rahman bin Muhammad Al-Banna.
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M. Tanggal kelahirannya diperkirakan
25 Sya’ban 1324 H/14 Oktober 1906 M. Di Mahmudiyah Mesir.[1] Salah
satu desa di wilayah Buhairoh Mesir, sembilan puluh mil sebelah barat laut
Kairo. Ayahandanya bernama Syeikh Abdurrohman al-Banna, yang lebih terkenal
dengan panggilan Sa’ati atau si tukang arloji.
Hassan al-Banna
lahir dari keluarga yang cukup terhormat dan dibesarkan dalam suasana keluarga
Islam yang taat. Pada masa kanak-kanak Hasan al-Banna dididik langsung oleh
ayahnya dengan ajaran Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Bahasa, Tasawuf dan dituntut
untuk menghafal Al-Qur’an secara penuh. Kemudian dimasukkan ke sekolah
persiapan yang dirancang pemerintah Mesir menurut model sekolah dasar tanpa
pelajaran bahasa asing. Dan ketika di rumah bergelut dengan perpustakaan
ayahnya.[2]
Pendidikan
formalnya dimulai dari sekolah agama Madrasah Al-Rasyid Ad-diniyat, lalu ia
melanjutkan belajar ke sekolah menengah pertama di Muhmudiyat. Tahun 1920 ia
melanjutkan belajar ke Madrasah Al-Mu’allimin Al-Awaliyat, sekolah guru tingkat
pertama, di Damanhur. Lalu tahun 1923, ia pindah ke Kairo dan belajar di Dar
Al-Ulum sampai selesai pada tahun 1927. Di sini ia mempelajari ilmu-ilmu
pendidikan, filasafat, psikologi dan logika, serta ia juga tertarik pada
masalah-masalah politik, industri, dan olah raga.[3]
Pada tahun 1927
saat usianya mencapai 21 tahun beliau tamat dari Universitas Darul Ulum dengan
menyandang predikat cumlaude. Setelah itu tepatnya pada bulan September 1927 ia
diangkat menjadi guru sekolah dasar di lingkungan Departemen Pendidikan
tepatnya di markas terusan Suez kota Ismailiyah.[4]
Pada bulan
Dzulhijjah 1346 H yang bertepatan dengan bulan Maret 1928 M, Hasan al-Banna
didatangi oleh beberapa orang yang mengaku tertarik pada kepribadian dan
keuletan dakwahnya. Mereka adalah Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al-Husyairi, Fuad
Ibrahim Ismail Izz, Zaky Al-Maghriby, dan Abdurrahman Hasbullah. Beberapa orang
tersebut menyatakan kesetiaannya mereka kepada Hasan al-Banna dan bermaksud
menggabungkan diri ke dalam sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh Hasan
al-Banna. Dari pertemuan tersebut dimusyawarahkanlah nama sebuah organisasi,
yang pada akhirnya disepakati menggunakan nama Ikhwanul Muslimin.[5]
Gerakan ini
dalam perjalanan perjuangannya di Mesir mengalami beberapa hambatan dari
pemerintahan Mesir sendiri setelah kekhawatiran pemerintah atas keterlibatan
Ikhwanul Muslimin dalam agitasi dan kekerasan.
Pada tanggal 28
Desember 1948 M, Perdana Menteri An-Nuqrosyi Pasya terbunuh, dan tuduhan itu
dialamatkan ke kelompok Ikhwanul Muslimin. Tujuh minggu setelah kejadian
tersebut tepatnya tanggal 12 Februari 1949, Hasan al-Banna ditembak oleh
agen-agen dinas rahasia Mesir yaitu Kolonel Mahmud Abdul Majid atas perintah raja
Faruq.[6]
Karya-karya Hasan al-Banna banyak dituangkan dalam bentuk risalah,
yang ditulis sepanjang masa hidupnya, dan banyak dituangkan dlam majalah
Ikhawan Al-Muslimin. Risalah-risalah tersebut akhirnya dikumpulkan dan dijilid
menjadi satu buku dengan judul Majmu’at Rasa’il Al-Imam asy-Syahid al-Banna.
Adapun
judul dari masing-masing risalah tersebut, antara lain:
a.
Da’watuna,
tulisan ini secara khusus membahas tentang gerakan dakwah Ikhwan Al-Muslimin,
kesucian dalam berdakwah, kasih sayang dalam dakwah, sarana dakwah dan
lain-lain.
b.Ila Ayyi Sya’i
Nad’u An-Nas, berisi
tentang tolok ukur dakwah, tujuan hidup manusia dalam Al-Qur’an, pengorbanan,
tujuan, sumber tujuan, dan lain-lain.
c.
Nahwu An-Nur,
berisi tentang saran-saran yang ditunjukkan kepada raja Faruq (Mesir), yakni berupa
tanggung jawab seorang pemimpin, orientasi Islam, peradaban Barat dan Islam,
dan kebangkitan uamt Islam, dan lain-lain.
d.
Risalat At-Ta’lim,
berisi tentang sepuluh komitmen bagi para kader Ikwan dalam mencapai
keberhasilan.
Selain buku utama, yang berisi kumpulan risalah di atas, juga ada
buku lain yang berjudul Mudzakkirat Ad-da’wat wa Ad-Da’iyst Mudzakkirat
Ad-da’wat wa Ad-Da’iyat. Buku ini berisi tentang perjalanan hidup Hasan
al-Banna dan perjalanan dakwahnya. Buku ini membahas tentang perjalanan intelektual,
ruhani dan jasmani dalam berdakwah. Buku ini mengambarkan tentang kepribadian,
intelektual, dan gerak langkah dakwah Hasan al-Banna.[7]
B.
Setting Sosial
Hasan al-Banna penggagas gerakan Ikhwanul Muslimin merupakan salah
satu tokoh Islam yang lahir bagi kebangkitan peradaban umat Islam. Kerusakan
yang dibawa oleh penjajah berakumulasi dengan kerusakan oleh warisan masa
kemunduran dan keterbelakangan mengakibatkan marginalnya kebudayaan Islam.
Akibat penjajahan orang-orang kafir memegang kendali pendidikan dan penanaman
pengaruh sehingga kondisi umat Islam memprihatinkan.
Krisis yang melanda masyarakat Islam Mesir di bidang agama, sosial,
ekonomi, pendidikan dan politik, Mesir menjadi ajang pertarungan partai-partai
politik dalam negri yang diciptakan oleh para elit politik. Akibat pertarungan
yang tidak sehat memudarlah semangat nasionalisme dan lemahlah bangsa Mesir.
Dalam bidang agama dan moral, masyarakat sudah mulai melupakan Islam sebagai way
of lifenya. Mereka takut terhadap sesuatu yang berbau Islam lebih-lebih
dalam kehidupan sosial politik. Sikap yang tidak agamis tersebut jelas sekali
kelihatan bagi para penguasa dan orang-orang yang berpendidikan barat.
Orientasi mereka tidak lagi menjalankan Islam dalam ibadah. Akibatnya
merosotlah jiwaa keislaman dan persaudaraan diantara kaum muslimin.
Di bidang perekonomian rakyat Mesir lemah dan miskin sebagai akibat
sumber daya alam, modal dan kontrol terhadap perekonomian Mesir dilakukan oleh
Inggris. Kemiskinan tersebut sangat dirasakan sekali bagi kaum petani dan
buruh. Dan dalam pendidikan terjadi dualisme dalam sistemnya. Di satu pihak
sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan
pendidikan agama. Di pihak lain sekolah-sekolah agama pun melupakan pengetahuan
umum, sehingga sistem pendidikan Mesir tidak ada balance dan membawa
kepincangan.
Dalam segi politik negeri dunia Islam terpecah ke dalam
kelompok-kelompok kecil, sementara ateisme subur dan imperialisme merampas
negara-negara Arab untuk dieksploitasi sumber bahan mentahnya dan menjadikan
negara yang dijajah sebagai tempat pemasaran barang produksinya. Maka bertitik
tolak dari masalah-masalah tersebut dan dalam usahanya mencari paradigma baru
guna mengembalikan kehormatan agama, negara dan persaudaraan Islam, Hasan
al-Banna pewaris semangat reformis bagi kebangkitan Islam berusaha
merealisasikan cita-citanya dengan membangun gerakan Ikhwanul Muslimin.[8]
Sebagai bentuk antisipasi krisis yang melanda masyarakat Mesir, organisasi
Ikhwanul Muslimin bergerak dibidang dakwah, tarbiyah, sosial dan jihad.[9]
C.
Metodologi Pergerakan Hasan al-Banna
Bahwa perjuangan dan pergerakan Hasan al-Banna melalui Ikhwanul
Muslimin dengan menggunakan metode Dakwah dan Pendidikan Madrasah untuk merubah
masyarakat dan membentuk pemimpin yang dapat mewujudkan cita-cita masyarakat
muslim.
Hasan al-Banna berpandangan bahwa aspek terpenting yang
direalisasikan adalah membentuk generalisasi muslim kaffah yang memahami Islam
secara tepat, responship, berjuang menegakkan agama Allah dan mampu
merealisasikan ajaran-Nya dalam seluruh tatanan kehidupan.
Dalam berdakwah Hasan al-Banna selalu bersikap santun dan hormat
untuk menarik simpati masyarakat, kadang-kadang ia juga memberi hadiah kepada
mereka. Basis-basis gerakan dan perjuangan yang dibangun melalui kampus-kampus,
masjid dan madrasah muslim. Sehingga tidak mengherankan jika pengiut gerakan
Ikhwanul Muslimin tidak saja dari kalangan masyarakat buruh saja, tetapi juga
dari golongan profesi dan intelektual.
D.
Teori Pendidikan
Untuk mencapai pendidikan Islam dan sosiologi kepada masyarakat
Mesir, Hasan Al-Banna menetapkan Institusional Approach. Tujuan
pendekatan institusional ini memperhatikan bagaimana struktur dari institusi
dapat menjelaskan pada perilaku keagamaan.
Adanya unsur-unsur solidaritas masyarakat yang tertarik terhadap
dakwah Hasan al-Banna dengan Fungsionalisme Approach. Agama
harus mempunyai fungsional bukan hanya sekedar ilusi tetapi merupakan fakta
sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial. Hal ini
terbukti dengan semakin banyaknya anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di berbagai
cabang dengan bersandar pada pendidikan madrasahnya.[10]
E.
Ide Pokok
Salah satu motto Hasan al-Banna adalah “Lembut dalam bertutur,
tegas dalam berprinsip”. Hasan al-Banna mengajukan manhaj dakwah yang
menurutnya Islam itu sendiri. Dalam bukunya Risalah Baina al-Amz wal Yaum,
ia menulis, “Sejujurnya, ikhwan sekalian, kita harus ingat bahwa kita berdakwah
dengan dakwah Allah swt yang merupakan dakwah yang paling mulia. Kita mengajak
manusia untuk memegang pemikira Islam, yang merupakan pemikiran yang paling
lurus. Dan kita mengajukan syari’at Al-Qur’an kepada manusia, yang merupakan
syari’at yang paling adil”.[11]
Bagi Hasan al-Banna, Islam merupakan pengabdian kepada Allah, tanah
air, agama dan negara. Dengan gerakan Modernisasi Islam yang dituju oleh
Ikhwanul Muslimin adalah modernisasi yang tidak mengabaikan kepribadian muslim,
diantaranya melalui:
1.Aspek Agama dan
Akhlak
Hasan al-Banna dengan gerakannya membina masyarakat dengan iman dan
ibadah melalui kegiatan dakwah dan pendidikan. Tujuannya adalah terciptanya
masyarakat yang memiliki jiwa agama yang kuat dan budi pekerti yang sempurna.
Hal ini bersamaan dengan tugas Rasulullah SAW “Sesungguhnya aku diutus adalah
untuk menyempurnakan akhlak”.[12]
Aspek pendidikan yang terpenting menurut Ikhwanul Muslimin ialah
aspek akhlak. Mereka sangat mengutamakannya serta menganggapnya sebagai tonggak
pertama untuk perubahan masyarakat. Akhlak mencakup hal-hal yang lebih luas dan
lebih dalam dari aspek-aspek kehidupan, termasuk pengendalian diri, benar dalam
berkata, baik dalam perbuatan, amanah dalam muamalah, berani dalam mengeluarkan
pendapat, adil dalam memutuskan, tegas dalam kebenaran, bulat tekad untuk
kebaikan, amar ma’ruf nahi mungkar, antusias tehadap kebersihan, menghormati
peraturan dan tolong-menolong atas kebaikan dan takwa. Dan akhlak utama yang
ditanamkan dalam jiwa adalah sabar, tabah, cita-cita, dan pengorbanan.[13]
2.Aspek Sosial
dan Kesehatan
Pendidikan Ikhwanul Muslimin menekankan, bahwa amal untuk kebaikan
masyarakat merupakan bagian dari misi seorang muslim dalam kehidupan. Bahwa
setiap anggota Ikhwanul Muslimin adalah anggota yang berguna dalam
masyarakatnya, ia selalu mengerjakan kebaikan dan mengajak kepadanya. Semua
cabang Ikhwanul Muslimin adalah tempat bagi perbaikan masyarakat dan pelayanan
bangsa dengan segala prasarana yang ada berupa pengajaran, latihan ,perbaikan,
pemeliharaan dan pemberian petunjuk tentang keagamaan dan kesehatan. Yakni
dengan dibangun klinik-klinik, madrasah-madrasah, masjid-masjid untuk “Bagian
Perbaikan dan Pelayanan Masyarakat” di setiap cabang Ikhwanul Muslimin.[14]
3.Aspek
Pendidikan
Diantara ciri dari sistem pendidikan madrasah Hasan al-Banna adalah
menghormati dengan menempatkan pembentukan akal dan ilmu yang didasarkan pada
Al-Qur’an dan hadits, dengan pemikiran ilmiah dalam kurikulum yang
diaplikasikan terhadap warisan peradaban dan kebudayaan Islam untuk membentengi
pengaruh peradaban dan kebudayaan materialis. Dan ini terletak pada perbaikan
sistem pendidikan, kurikulum dan perluasan kesempatan belajar. Di bidang
kurikulum dimasukkannya pendidikan agama pada sekolah-sekolah pemerintah,
dimasukkannya pengetahuan umum pada pendidika/sekolah-sekolah agama sehingga
hegemoni pendidikan dapat terkikis.
Hasan Al-Banna berusaha menghidupkan kembali tradisi keilmuan
masyarakat Islam dengan membebaskan dari belenggu kurrofat, jumud dan tahqid
sebagai media untuk membangun akal tidak hanya menggunakan institusi madrasah
tetapi juga melalui masjid khalaqoh, pengajian maupun pengajaran media
informasi, seperti: majalah As-Syihab, Al-Manar dan majalah Ikhwanul
Muslimin.
4.Aspek Ekonomi
Dengan didirikannya perusahan tenun, pabrik pemintalan, perdagangan
dan pembangunan, percetakan dan pembangunan, percetakan
dan penerbitan surat kabar dan majalah, serta usaha-usaha dalam bidang
pertanian. Terhadap pemerintahan mengajukan agar menasionalisasikan segala
bentuk perekonomian mesin, penghapusan modal dan kontrol asing.[15]
Dalam pandangan Hasan al-Banna tentang sistem ekonomi yang
independen dalam mengatur kekayaan, harta, negara dan kesejahteraan rakyat,
dengan berpendoman pada ayat
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan.” (An-Nisa’: 5)[16]
5.Aspek Politik
dan Jihad
Tujuan Ikhwanul Muslimin dalam pembaharuan di bidang politik
bukanlah untuk merebut kekuasaan dari tangan pemerintah yang ada. Dalam hal ini
tidak mutlak diperintah oleh ulama atau tokoh partai Islam, tetapi boleh siapa
saja dari orang Islam yang mampu mewujudkan pemerintahan Islam. Diterapkannya
ajaran Islam pada pemerintahan Mesir sebagai suatu tuntutan fenomena yang tidak
bisa dielakkan bagi pembaharuan Islam.
Dalam mewujudkan pemerintahan Islam tentu harus adanya jihad
sebagai manifestasi dari iman, akhlak, dan jiwa pengorbanan. Sistem pendidikan
jihad ini menekankan pada keberanian dan jiwa bekorban untuk mencapai ketaatan
dan mendahulukan kepentingan jatah daripada kepentingan pribadi. Pendidikan
jihad ini dipersiapkan untuk kader-kader pejuang yang handal baik di medan laga
maupun di medan dakwah, tidak sebatas perang melawan penjajah tetapi juga
bersifat internal yakni memerangi sikap kerusakan yang terdapat pada diri
setiap muslim.
Muatan jihad dalam sistem pendidikan ini merupakan langkah
persiapan dalam membentuk umat Islam yang intregrated dalam perjuangan,
serta menggalang kekuatan bagi realisasi cita-cita kebangkitan peradaban Islam
untuk berjiwa tangguh, ulet dan disegani lawan baik di medan perang maupun di
meja diploma.[17]
F.
Pemikiran Pendidikan
Hasan al-Banna
Pemikiran Hasan al-Banna tentang pendidikan tidak terlepas dari
pandangannya terhadap ajaran Islam. Ajaran Islam baginya mencakup segala aspek
dan menyentuh seluruh segi urusan manusia, baik untuk kehidupan dunia maupun
ukhrawi. Pemahaman Hasan al-Banna terhadap ajaran agama Islam secara utuh, ia
aplikasikan dalam mendidik umat Islam, tanpa memisahkan ilmu-ilmu tanziliyah
dan ilmu-ilmu yang kauniyah.[18]
1.Konsep
Pendidikan
Hasan
al-Banna sering menggunakan istilah pendidikan dengan at-tarbiyah dan at-ta’lim.
At-tarbiyah adalah proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia
melalui pemberian berbagai ilmu pengetahuan yang dijiwai oleh nilai-nilai
ajaran agama. Dalam penggunaannya sering diartikan untuk pendidikan jasmani,
pendidikan akal, dan pendidikan qalb. Sedangkan At-ta’lim adalah
proses transfer ilmu pengetahuan agama yang menghasilkan pemahaman keagamaan
yang baik pada anak didik sehingga mampu melahirkan sifat-sifat dan sikap-sikap
yang positif. Seperti ikhlas, percaya diri, ketuhanan, pengorbanan, dan
keteguhan. Sehingga pendidikan dipandangnya sebagai proses aktualisasi potensi
Islam, yakni dapat melahirkan sosok individu yang memiliki kekuatan jasmani,
akal, dan qalb guna mengabdi kepada-Nya, serta mampu menciptakan
lingkungan hidup yang damai dan tentram.[19]
Maka konsep pendidikan Hasan al-Banna berkaitan dengan upaya
mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis diantara pendidikan agama dan
pendidikan umum. Berkaitan dengan hal tersebut, Hasan al-Banna berusaha
memperbarui makna iman yang telah lapuk dengan cara kembali kepada
sumber-sumber ajaran yang masih orisinil.[20]
Dengan didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah Rasul SAW serta sirah al-salaf
al-shalih.[21]
2.Tujuan
pendidikan
Dari
rincian di atas dapat diketahui bahwa pendidikan tersebut harus menyentuh
seluruh aspek kehidupan manusia yaitu: ruh, jasmani, akal pikiran. Adapun
tujuan pendidikan Islam adalah ibadah kepada Allah semata sesuai dengan
syariat-Nya, menegakkan khilafah dimuka bumi, saling mengenal sesama manusia,
mewujudkan kepemimpinan dunia dan melaksanakan hukuman berdasarkan syari’at.
Hasan al-Banna menegaskan bahwa tujuan pendidikan yang paling pokok
adalah mengantarkan anak didik agar mampu memimpin dunia, dan membimbing
manusia lainnya kepada ajaran Islam yang Kamil atau komprehensif, serta
memperoleh kebahagiaan di atas ajaran Islam. Secara terperinci, Hasan al-Banna
menjelaskan tujuan pendidikan ini kedalam beberapa tingkatan, mulai dari
tingkatan individu, keluarga, masyarakat, organisasi, politik, negara, sampai
tingkat dunia. Hal tersebut diuraikan secara penjang lebar dalam kitabnya Risalat
at-Ta’lim, dalam Majmu Rasail al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna.[22]
3.Kurikulum
Pendidikan
Dalam hubungan ini, Hasan al-Banna selaku pendiri Ikhwanul Muslimin,
tidak bosan-bosannya menghimbau pemerintah agar menata kembali pendidikan yang
berasaskan Islam dan memperhatikan pentingnya penyusunan kurikulum yang berbeda
antara siswa laki-laki dan perempuan, dan secara khusus ia memohon agar
pengajaran ilmu-ilmu eksakta tidak dibaurkan dengan paham materialisme modern.
Menurutnya, reformasi kurikulum pendidikan dapat dilakukan dengan
menerapkan tiga strategi:
a.
Melakukan seleksi terhadap materi-materi pelajaran. Pakar
pendidikan sepakat bahwa prinsip pertama yang harus dipertimbangkan dalam
memilih materi-materi pelajaran adalah tujuan yang hendak dicapai dari proses
pembelajaran. Berangkat dari tujuan tersebut, pemilihan materi pelajaran
menurut Hasan al-Bannā harus mempertimbangkan hal-hal berikut.
Pertama, memberikan
perhatian yang lebih terhadap pelajaran agama dengan melakukan langkah-langkah
yang mampu ‘mendesain’ mahasiswa menjadi tulang punggung disiplin ilmu agama,
mampu mendalami dasar-dasar agama, dan memiliki kecakapan dalam memhami
ajaran-ajarannya.
Kedua, membebaskan
kurikulum dari imitasi terhadap sekolah-sekolah modern, dalam hal ini,
menyesuaikan kurikulum al-Azhar dengan kurikulum sekolah modern dan memasukkan
ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum.
Ketiga, membatasi
pengajaran bahasa asing dengan mengajarkan bahasa-bahasa yang dibutuhkan untuk
keperluan dakwah semata. Yang dimaksudkan oleh al-Bannā adalah menempatkan
pembelajaran bahasa asing pada seluruh jenjang pendidikan.
b.
Menyeleksi dan menyiapkan para guru. Menurut Hasan al-Banna,
reformasi kualitas para dosen dapat dilakukan dengan cara memberikan kebebasan
kepada para mahasiswa di perguruan tinggi dan program spesialis untuk memilih
perkuliahan dosen-dosen yang dipandang memiliki kapabilitas kelimuan tinggi.
Dengan begitu, akan selalu ada kompetisi konstruktif antar dosen untuk
meningkatkan kualitas dan kapabilitas, sehingga hanya yang terbaiklah yang
mampu bertahan.
c.
Menyeleksi buku-buku ajar. Dapat dilakukan, di antaranya, dengan
cara kembali kepada buku-buku yang kaya dengan khazanah pengetahuan dan meng-upgrade-nya
dengan bahasa yang mudah dicerna dan pembahasan mendetail. Di samping itu,
perlu dibentuk komisi ahli yang bertugas menyeleksi dan memilih serta menyuplai
buku-buku yang mampu menambah khazanah keilmuan dan kompetensi para siswa.[23]
4.Lembaga
Pendidikan
Pemahaman Hasan al-Banna terhadap ajaran agama Islam secara utuh,
ia aplikasikan dalam suatu sistem pendidikan yang dinamakan “Pendidikan
Khuluqiyyah”.[24]
Dimana pendidikan harus berorientasi pada ketuhanan, bercorak universal dan
terpadu, bersifat positif konstruktif, serta membentuk persaudaraan dan
keseimbagan dalam hidup dan kehidupan umat manusia.[25]
Seperti halnya pendidikan Islam pada umumnya, Institusi Tarbiyah
Khuluqiyyah juga mempunyai lembaga, baik lembaga pendidikan sekolah maupun luar
sekolah. Untuk lembaga pendidikan sekolah, dilakukan melalui wadah Ikhwanul
Muslimin dengan mendirikan sekolah mulai Sekolah Dasar (Ibtidaiyah) sampai
Sekolah Lanjutan (Aliyah), Sekolah Teknik untuk anak laki-laki dan perempuan
yang keadaannya berbeda dengan keadaan sekolah lain. Dimana ada Ma’had Hurra
al-Islami yang diperuntukkan bagi pria, dan Ma’had Ummah al-Mukminin khusus
untuk putri. Sedangkan pendidikan luar sekolah diselenggarakan melalui kegiatan
belajar tanpa perjenjangan tapi bersifat kontinu, baik melalui keluarga,
kelompk belajar, kursus kejuruan untuk anak putus sekolah, dan pendidikan
kewiraswastaan bagi yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.[26]
5.Materi
Pendidikan
Pada
dasarnya Madrasah Hasan al-Banna berorientasi pada pengembangan seluruh potensi
yang ada pada diri manusia. Hasan al-Banna menetapkan beberapa aspek sebagai
bahan harapan dalam sistem
pendidikannya, antara lain.
Pertama, aspek intelegensi (akal). Perhatian mereka pada aspek ini adalah
berangkat dari keyakinan bahwa Islam tidak membekukan pikiran tetapi justru
membebaskan dan mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan observasi
alam. Tidak dibedakan antara ilmu dunia dan ilmu agama. Hasan al-Banna
menerapkan pengembangan pemikiran ilmiah dalam kurikulum madrasah sebagai dasar
pengembangan pada aspek lainnya. Pembinaan akal dan pemikiran yang
diaplikasikan dalam madrasah didasari oleh ajaran agama, peradaban Islam dan
warisan kebudayaan Islam.[27]
Ilmu
pengetahuan agama dan cabang-cabangnya merupakan materi pendidikan yang dapat
mengembangkan potensi akal anak didik. Adapun materi pendidikan akal terdiri
atas ilmu pengetahuan agama, sosial beserta cabang-cabangnya. Materi ilmu
pengetahuan agama sebagai dasar pertama bagi anak didik sebelum ia mempelajari
ilmu pengetahuan lainnya.
Kedua, aspek pendidikan jasmani. Potensi jasmani dengan berbagai
anggotanya pada diri seseorang sangat membutuhkan pemeliharaan dan penambahan
kualitas perkembangannya.[28] Berikut
ini diantara tujuan dari pendidikan jasmani di madrasah Hasan al-Banna. (a)
Kesehatan badan dan terhindar dari penyakit. (b) Kekuatan jasmani dan
keterampilan. (c) Keuletan dan ketahanan tubuh.
Ketiga, aspek pendidikan moral. Pendidikan akhlak yang disampaikan di
madrasah Hasan al-Banna bertujuan agar para anggotanya memiliki nurani yang
terjaga dengan baik, sebab nurani akan dapat menjadi pengontrol bagi segala
tingkah laku manusia.[29]
Diantara kekhasan materi pendidikan Hasan al-Banna adalah ibadah sunah secara
rutin, zikir, membaca Al-Qur’an, salat tahajud dan berdo’a, bangun malam dan
beribadah.[30]
Keempat, aspek pendidikan jihad. Pendidikan jihad bukan pendidikan
kemiliteran. Makna pendidikan jihad lebih luas yakni mengandung muatan iman,
akhlak, jiwa, dan pengorbanan di samping disiplin dan latihan pula. Pendidikan
jihad ditanamkan Hasan al-Banna melalui berbagai macam media, baik pendidikan,
dakwah, maupun majalah yang difokuskan pada pengembangan semangat jihad dan
rela berkorban untuk menegakkan agama Allah, lebih lanjut untuk mempersiapkan
fisik anggota yang bergabung dalam “batalion jihad” yang telah terlatih dan
berbekalan senjata.
Kelima,
aspek pendidikan politik. Dalam
madrasah Hasan al-Banna, pendidikan politik mendapat perhatian yang cukup
besar. Karena Hasan al-Banna merasa terpanggil untuk dapat berjuang meluruskan
persepsi yang kurang benar; yang memungkinkan pemisahan antara agama dan
negara. Pendidikan politik yang
diberikan didasarkan pada beberapa prinsip, diantaranya: (a) memperkuat
kesadaran dan perasaan wajib untuk membebaskan negara Islam dari penjajahan;
(b) membangkitkan kesadaran dan perasaan atas wajibnya mendirikan pemerintahan
Islam; (c) membangkitkan kesadaran dan perasaan akan wajib terwujudnya kesatuan
Islam.
Keenam, aspek
pendidikan sosial. Pendidikan sosial adalah sarana efektif untuk mengubah
manusia dan mengajarkannya berbagai macam cara hidup bersama orang lain dan
bagaimana menciptakan jaringan interaksi dalam melaksanakan aktivitas bersama.
Hasan al-Banna mewajibkan para anggotanya untuk berakhlak sosial, seperti al-Muakhah,
al-Tafahum, dan al-Takaful.[31]
6.Karakteristik
Pendidik
Menurut
Hasan al-Banna, keberhasilan pembinaan yang dilakukan adalah karena adanya guru
atau pendidik yang baik. Pendidik yang baik ditandai dengan beberapa kriteria,
diantaranya ia harus memliki:
a.
Pemahaman Islam yang benar
b.
Niat yang ikhlas kepada Allah
c.
Aktivitas hidup dan kehidupan yang dinamis
d.
Kesanggupan dan menegakkan kebenaran
e.
Pengorbanan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala sesuatu yang
dimilikinya
f.
Kepatuhan dan menjalankan syariat Islam
g.
Keteguhan hati
h.
Kemurnian pola pikir
i.
Rasa persaudaraan yang berdasarkan ikatan akidah, dan
j.
Sifat kepemimpinan
Menurutnya salah satu keberhasilan pendidikan ditentukan oleh
kualitas pendidik, baik kualitas dari segi keilmuan maupun kualitas keteladanan
atau akhlaknya. Oleh karena itu, pendidik dituntut untuk senantiasa bekerja
secara profesional, yakni memiliki kompetensi, komitmen, wawasan, visi, sikap,
dan penampilan yang sesuai dengan kultur lingkungannya.
7.Metode
Pendidikan
Metode
yang ditawarkan oleh Hasan al-Banna meliputi enam metode, yaitu:
a.
Metode diakronis, yaitu metode pengajaran yang menonjolkan
aspek sejarah. Metode ini memberi kemungkinan ilmu pengetahuan sehingga anak
didik memiliki pengetahuan yang relevan, memiliki hubungan sebab akibat atau
kesatuan integral. Oleh karena itu, metode ini disebut juga dengan metode
sosio-historis.
b.
Metode sinkronik-analitik, yaitu metode pendidikan yang
memberi kemampuan analisis teoritis yang sangat berguan bagi perkembangan
keimanan dan mental-intelektual. Metode ini banyak menggunakan teknik
pengajaran seperti diskusi, lokakarya, seminar, resensi buku dan lain-lain.
c.
Metode hallul musykilat (problem solving), yaitu
metode yang digunakan untuk melatih anak didik berhadapan dengan berbagai
masalah dari berbagai cabang ilmu pengetahuan sehingga metode ini sesuai untuk
mengembangkan potensi akal, jasamani, dan qalb.
d.
Metode tajribiyyat (empiris), yaitu metode yang digunakan
untuk memperoleh kemampuan anak didik dalam mempelajari ilmu pengetahuan agama
dan ilmu pengetahuan umum melalui realisasi, aktualisasi, serta internalisasi
sehingga menimbulkan interaksi sosial. Metode ini juga sangat cocok untuk
pengembangan potensi akal, hati, dan jasmani.
e.
Metode al-istiqraiyyat (induktif), yaitu metode yang
digunakan agar anak didik memiliki kemampuan riset terhadap ilmu pengetahuan
agama dan umum dengan cara berpikir dari hal-hal yang khusus kepada hal-hal
yang umum, sehingga metode ini sesuai untuk mengembangkan potensi akal dan
jasmani.
f.
Metode al-istinbathiyyat (deduktif), yaitu metode yang
digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus,
kebalikan dari metode induktif.[32]
G.
Analisis Pemikiran
Pemikiran Hasan
al-Banna dapat dikategorikan kedalam pemikiran rasional religius, yakni
mengedepankan akal dengan tetap berpegang teguh pada sumber ajaran agama yaitu
al-Qur’an dan Sunnah. Pemikiran Hasan al-Banna dalam hal pendidikan dapat
dikategorikan ke dalam aliran rekontruksionisme yaitu suatu aliran yang
berusaha mengatasi krisis kehidupan modern dengan membangun tata susunan hidup
yang baru melalu lembaga dan proses pendidikan. Adapun teori dan ide pokok
kependidikan yang ditawarkannya sangat ideal dan relevan untuk saat ini, hal
ini terlihat adanya aspek-aspek yang diterapkannya melalui pendidikan madrasah,
disana terdapat keseimbangan antara pengetahuan umum dan pendidikan agama.
Dari konsep
pemikirannya di atas dapat dikatakan bahwa Hasan al-Banna
adalah tokoh pendidikan pembaruan pendidikan Islam yang ‘terbuka’ pada konsep
pendidikan modern. Hal itu terlihat pada konsep madrasah (pendidikan formal)
yang dikembangkan oleh Ikhwanul Muslimin, seperti berdirinya Ma’had Hira,
Madrasah Ummahat al-Mu’minin, serta memorandum yang disampaikannya
kepada al-Azhar tentang pentingnya penataan ulang kurikulum bagi lembaga
pendidikan tinggi tertua tersebut. Meskipun demikian, pada waktu yang
bersamaan, al-Banna juga tetap
memertahankan urgensi pendidikan tradisional (berbasis halaqah). Bahkan,
model pendidikan ini dijadikannya sebagai ciri-khas pendidikan “integral-aplikatif”
bagi seluruh anggota Ikhwanul Muslimin hingga pada hari ini.
Konsep pendidikan Hasan al-Banna adalah konsep pembebasan dari
kebodohan, penindasan dan penjajahan dalam aspek ekonomi, politik, kebudayaan,
dan lain sebagainya serta konsep pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang relevan sepanjang zaman dan diterima oleh
bangsa apapun.
Pemikiran Hasan al Banna terkait dengan pendidikan di Indonesia,
dapat dikaitannya dengan UU No. 22 tahun 1999, mengenai otonomi daerah dan
implikasinya terhadap pendidikan, masih relevankah konsep pendidikan Hasan
al-Banna diterapkan pada masa sekarang ini dengan memasukkan pendidikan umum
dan pendidikan agama. Konsep kependidikan yang diterapkan melalui madrasahnya
sangat mendukung bagi pemulihan hak kemerdekaan masyarakat Islam. Ini sangat
relevan untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Namun kita juga tidak lepas
dari obyek pendidikan, subyek pendidikan dan pembuat kebijakan kurikulum.
Salah satu contoh pada pendidikan di Indonesia saat ini menggunakan
kurikulum 2013 yang tidak hanya memasukan ilmu pengetahuan umum saja, namun sekarang
juga menambah jam pelajaran pada mata pelajaran agama. Selain itu bisa
dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah
aliyah yang mempelajari tidak hanya ilmu agama, namun juga ilmu pengetahuan
umum. Sekarang ini juga banyak perguruan tinggi atau universitas Islam yang
membuka fakultas-fakultas ilmu umum.
Sedangkan metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Hasan al-Banna
seperti metode diakronis, sinkronik analitik, problem solving, empiris,
induktif maupun deduktif masih relevan dengan
pembelajaran masa kini, yang dapat dilihat penerapannya dalam metode pembelajaran dalam kurikulum 2013 yang bertujuan untuk
mengembangkan segala aspek dalam setiap peserta didik.
Tujuan pendidikan yang
dikemukakan oleh Hasan al-Banna yakni menjadikan peserta didik menjadi manusia
yang insan kamil yang beribadah kepada Allah, menegakkan khilafah di muka bumi
serta kepedulian sosial, masih sangat relevan hingga saat ini. Tujuan
pendidikan tersebut tergambarkan dalam tujuan pendidikan nasional Indonesia,
dimana terdapat kesamaan dalam aspek yang hendak dituju dari uatu pendidikan
yakni aspek spiritual, intelektual, moral, jasmani serta sosial.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkap Hasan al-Banna adalah Hasan bin Ahmad bin Abdur Rahman
bin Muhammad Al-Banna. Tanggal kelahirannya diperkirakan 25 Sya’ban 1324 H/14
Oktober 1960 M. Di Mahmudiyah Mesir. Salah satu desa di wilayah Buhairoh Mesir,
sembilan puluh mil sebelah barat laut Kairo. Ayahandanya bernama Syeikh
Abdurrohman al-Banna. Dan pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan al-Banna
ditembak oleh agen-agen dinas rahasia Mesir yaitu Kolonel Mahmud Abdul Majid
atas perintah raja Faruq.
Karya-karya Hasan al-Banna banyak dituangkan dalam bentuk risalah, dijilid
menjadi satu buku dengan judul Majmu’at Rasa’il Al-Imam asy-Syahid al-Banna. Da’watuna, Ila Ayyi Sya’i Nad’u An-Nas, Nahwu An-Nur, Risalat
At-Ta’lim. Selain karya
tentang risalah ada juga karya Mudzakkirat Ad-da’wat wa Ad-Da’iyst
Mudzakkirat Ad-da’wat wa Ad-Da’iyat, buku ini berisi tentang perjalanan
hidup Hasan al-Banna dan perjalanan dakwahnya.
Bahwa perjuangan dan pergerakan Hasan al-Banna melalui Ikhwanul
Muslimin dengan menggunakan metode Dakwah dan Pendidikan Madrasah. Teori
pendidikan yang digunakan oleh Hasan al-Banna untuk mencapai pendidikan Islam
dan sosiologi kepada masyarakat Mesir, Hasan Al-Banna menetapkan Institusional
Approach. Serta adanya unsur-unsur solidaritas masyarakat yang tertarik
terhadap dakwah Hasan al-Banna dengan Fungsionalisme Approach.
Ide pokok dari
Hasan al-Banna dengan gerakan Modernisasi Islam yang dituju oleh Ikhwanul
Muslimin adalah modernisasi yang tidak mengabaikan kepribadian muslim,
diantaranya melalui: aspek agama dan akhlak, aspek sosial dan kesehatan, aspek pendidikan,
aspek ekonomi, dan aspek politik dan jihad.
Sedangkan
pemikiran Hasan al-Banna terhadap pendidikan meliputi konsep pendidikan, tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, lembaga pendidikan, materi pendidikan,
karakteristik pendidik, serta metode pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawy,
Yusuf. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna. Jakarta:−
Kurniawan dan
Erwin Mahrus, Syamsul. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Maunah, Binti.
2011. Perbandingan Pendidikan Islam. Yogyakrata: Teras
Mohammad dkk,
Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema
Insani
Nizar,
Ramayulis dan Samsul. 2005. Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh
Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia. Jakarta: Quantum Teaching
http://qalamediaonline.blogspot.com/2012/09/pendidikan-islam-dalam-pemikiran-hasan_17.html, diakses tanggal 20 April 2014, pukul 10:05:40
[1] Binti Maunah, Perbandingan
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 267
[2] M. Sugeng
Sholehuddin, Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam
(Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 191
[3] Binti Maunah, loc.
cit.,
[4] M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm 192
[5] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hlm.
[6] M. Sugeng
Sholehuddin, loc. cit.,
[7] Binti Maunah, op.
cit., hlm. 268-269
[8] M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm 192-193
[9] Ramayulis dan
Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan
di Dunia Islam dan Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 88
[10] M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm. 195-196
[11] Herry
Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema
Insani, 2006) hlm.201-203
[12] M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm. 196
[13] Yusuf Al-Qardhawy,
Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna (Jakarta:-, 1980) hlm.
47-59
[14] Ibid,
77-78
[15] M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm. 198
[16] Herry Mohammad
dkk, op. cit., hlm. 204
[17] M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm. 198-199
[18] Ramayulis dan
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 89
[19] Binti Maunah, op.
cit., hlm. 270-271
[20] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, op. cit., hlm. 162
[21] Ramayulis dan
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 92
[22] Binti Maunah, op.
cit., hlm. 271-272
[23] http://qalamediaonline.blogspot.com/2012/09/pendidikan-islam-dalam-pemikiran-hasan_17.html, diakses tanggal 20 April 2014, pukul 10:05:40.
[24] Ramayulis dan
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 89
[25] Binti Maunah, op.
cit., hlm 271
[26] Ramayulis dan
Samsul Nizar, op. cit., hlm 90-91
[27] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, op. cit., hlm. 163-165
[28] Binti Maunah, op.
cit., hlm. 273-274
[29] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, op. cit., hlm. 165-166
[30] Ramayulis dan
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 97
[31] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, op. cit., hlm. 167-172
[32] Binti Maunah, op.
cit., hlm. 274-278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar