MAKALAH
NIKAH BAWAH TANGAN DAN PERINGKAT PENCATATAN NIKAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Masailul Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Ali
Muhtarom, M.H.I
Kelas : H
Disusun Oleh :
1. Imroatul Maghfiroh (2021 111 148)
2. Labibah (2021 111 254)
PROGRAM STUDI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
201
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kebutuhan manusia yang telah dewasa dalam rangka
meneruskan keturunan. Setiap agama yang ada di Indonesia memiliki aturan yang
berbeda-beda tentang perkawinan. Didalam ajaran islam perkawinan merupakan
perbuatan sunnah dan amal ibadah bagi yang melaksanakan perkawinan. Disamping
melaksanakan perkawinan secara ketentuan yang diatur oleh agama. Maka
perkawinan juga perlu menaati undang-undang perkawinan yang diatus oleh negara
dan berlaku secara nasional.
Nikah di bawah tangan adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini
masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah bawah tangan
ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka
menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah bawah
tangan dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja
sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini
kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (bagi yang muslim)
atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi yang non muslim) untuk dicatat.
Meskipun Undang-Undang perkawinan sudah terjadi sejak 32 tahun lalu, praktek perkawinan yang melanggar Undang-Undang ini masih saja terjadi dengan berbagai alasan. Karena adanya pencatatan perkawinan di bawah tangan, maka beberapa problematika dan implikasi negatif langsung menghadang.
Dalam makalah ini akan membahas hukum nikah bawah tangan dan kedudukan
pencatatan nikah, dengan terlebih dulu memahami konsep pernikahan dalam Islam,
konsep nikah bawah tangan, serta urgensi pencatatan nikah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pernikahan dalam Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan nikah bawah tangan?
3. Bagaimana posisi pencatatan dalam nikah?
4. Bagaimana istinbath hukum nikah bawah tangan dan kedudukan pencatatan
nikah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pernikahan dalam Islam
1.
Pengertian Pernikahan
Kata pernikahan dalam istilah hukum Islam memiliki kesamaan dengan
kata zawaj. Menurut bahasa nikah
berarti dham yang bermakna
menghimpit, menindih atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni wathaa yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian
pernikahan.[1]
Dalam pengertian lain, nikah
berarti penyatuan, akad atau hubungan badan. Selain itu, nikah dapat
diartikan pula dengan percampuran. Adapun menurut syari’at, nikah juga berarti
akad.[2]
Adapun pengertian menurut istilah pernikahan adalah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong
antara seorang wanita dan laki-laki yang bukan muhrim.[3]
2.
Tujuan pernikahan
Dalam sebuah pernikahan memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan
dari pernikahan itu sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 adalah
membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah SWT.
Bahwa Dia menciptakan untukmu istri-istri dari antara kamu untuk menemukan istirahat di dalamnya dan menempatkan antara Anda sayang dan belas kasihan dalam hal ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang mencerminkan
" Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu berarti benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ". (QS. Ar-Rum: 21) [4]
3.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa rukun dan syarat yang telah ditetapkan, yaitu:
a.
Ada calon mempelai pria
b.
Ada calon mempelai wanita[5]
c.
Sighat atau akad yaitu perkataan dari pihak wali perempuan seperti "Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama. . . . "Dan mempelai laki-laki menjawab" Saya terima nikahnya. . . "Tidak sah akad nikah seseorang kecuali dengan lafadz nikah, tazwij , atau terjemahan dari keduanya.
d.
Ada wali
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan adalah sebagai
berikut:
1)
Bapak
2)
Kakek (bapak dari bapak)
3)
Saudara laki-laki seibu sebapak
4)
Saudara laki-laki sebapak
5)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu dan sebapak
6)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
7)
Saudara laki-laki bapak (paman)
8)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak (anak paman)
9)
Hakim
Adapun Syarat
untuk menjadi wali adalah:
a)
Islam e)
Laki-laki
b)
Baligh f) Adil
c)
Berakal g)
Dua orang saksi
d)
Merdeka
Untuk menjadi
saksi tidak sembarang orang, tapi harus memenuhi syarat yang ada yaitu sama halnya
dengan syarat untuk menjadi seorang wali adalah sebagai berikut:
1)
Islam 4) Merdeka
2)
Baligh 5) Laki-laki
3)
Berakal 6) Adil [6]
B. Nikah Bawah Tangan
Nikah bawah tangan bukan berarti menikah di bawah tangan seseorang,
akan tetapi yang dimaksud dengan nikah bawah tangan adalah pernikahan yang
dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan.[7]
Menurut MUI, nikah di bawah tangan yang dimaksud
adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam
fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi
berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.[8]
Terdapat perbedaan pendapat tentang sah atau tidaknya pernikahan
bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan pasal
2 ayat (2) yang mengharuskan pencatatan pernikahan. Ketentuan yang tertuang
dalam pasal 2 ayat (2) adalah mengharuskan pencatatan pernikahan terpisah
dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa sahnya pernikahan itu
harus dilakukan sesuai dengan hukum dan kepercayaannya. [9]
C. Peringkat Pencatatan Nikah
Allah SWT telah
memerintahkan penepatan janji-janji dan pemenuhan hak-hak. Lantaran hak-hak itu
rawan hilang, mengingat tipologi kehidupan manusia beserta kondisi-kondisi yang
menyelimuti manusia, maka Allah SWT mensyariatkan adanya pengukuhan hak-hak dan
perjanjian-perjanjian dengan berbagai macam ragam sarana pengukuhan, semisal
pencatatan, persaksian, penggadaian.
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya penguatan (hak milik) secara umum, dan pencatatan secara tertulis khususnya, adalah sebagai berikut:
1.
Dalil dari Al Qur’an
Jumhur ulama berpandangan bahwa perintah dalam Surat Al-Baqarah: 282-283 bersifat anjuran dan pengarahan. Bukan berarti wajib. Hal ini karena termuat keterangan firman Allah SWT,
Beberapa dari Anda keamanan beberapa Vlaad yang dipercayakan sekretariatnya
"Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka harus yang terpercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya)." (Al-Baqarah: 283)
Asy-Sya’bi
berkata, “Jika sebagian dari kalian mempercayai sebagian lainnya, maka tidak
masalah untuk tidak mencatat ataupun mempersaksikan.”
Sebagian ulama lain seperti Imam ath-Thabari berpendapat bahwa perintah dalam ayat tersebut berarti wajib, sehingga hal sertifikasi melalui catatan tertulis dan persaksian terhadap hak dan akad-akad perjanjian wajib dilakukan. Selanjutnya, Allah memperkuatnya dengan beberapa penguat yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 282-283. Sebagaimana firman Allah SWT,
Hai orang yang beriman agama jika Tdaantm tidak terbatas Vaketboh dan menulis antara Anda dan petugas notaris Yap untuk menulis sebagaimana Allah mengajarkan Vlaketb Imll dan yang memiliki hak dan takut Allah Tuhan.... dan menewaskan dua orang martir Anda tidak dua pria dan dua wanita yang Faragl senang dengan para martir yang satu liar mengingat satu sama lain...
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, ........ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang pria, maka (mungkin) seorang pria dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. " (QS. Al-Baqarah: 282)
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, bahwa perintah tersebut berarti anjuran (sunnah) dan pengarahan. Sebab, seandainya mengandung pengertian wajib, niscaya Rasulullah benar-benar akan mencatat seluruh akad yang beliau lakukan. Padahal itu tidak terbukti adanya. Sehingga menunjukkan bahwa hal itu bukan merupakan kewajiban.
2.
Dalil dari Hadits
Hal sertifikasi dengan pencatatan secara tertulis, persaksian dan penyerahan barang sebagai jaminan telah termuat dalam Sunnah Nabi. ia menaruh perhatian pada masalah pembukuan akad-akad, perjanjian-perjanjian dan shulh (perjanjian damai). [10]
Secara implisit
terdapat tiga hadis yang terkait dengan pencatatan yaitu terkait anjuran
mengumumkan pernikahan, terkait ketidaksukaan Nabi menyembunyikan pernikahan,
adanya anjuran mengadakan walimah (perayaan pernikahan).
Anjuran untuk mengumumkan pernikahan antara lain terdapat dalam hadits Ibnu Majah yaitu:
Beritahukan kami Nasr bin Ali Aljhima dan Hebron bin 'Amr mengatakan Isa bin Yunus memberitahu kami tentang Khalid bin Elias dari Rabia bin Abi Abd al-Rahman al-Qasim Aisha: bahwa Nabi, saw mengatakan mereka mengumumkan pernikahan ini dan mengalahkan dia saringan
"... Dari aisyah ra bahwasanya Nabi berkata umumkan pernikahan inni dan pukullah rebana".
(HR. Ibnu Majah) [11]
3.
Aplikasi para sahabat
Dahulu, para
sahabat pasca Rasulullah SAW wafat, menaruh perhatian pada perkara sertifikasi
dengan catatan tertulis. Dan aktifitas para khalifah, hakim, dan gubernur,
berlangsung demikian secara terus menerus. Ibnul Qayyim mengatakan, “Para
khalifah, hakim, dan gubernur serta para
pegawai negara berpegangan pada catatan sebagian orang kepada orang lain. Tidak
mempersaksikan utusan (yang membawanya) mengenai isinya dan tidak (pula)
membacakannya pada utusan itu.[12]
4.
Dasar Pemikiran
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum nikah sirri dan nikah bawah tangan. Fatwa
tersebut merupakan hasil keputusan ijtima' ulama Se-Indonesia II, di Pondok
Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006.
Menurut Ma'ruf Amin,
nikah siri adalah pernikahan yang telah memenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), namun tanpa pencatatan resmi di instansi
berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nikah sirri dibawah tangan
yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “pernikahan yang terpenuhi semua syarat
yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan undang – undang.
Berkaitan dengan
pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret
mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya
pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi
unsur-unsur dan syarat - syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat,
pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak
luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy.
Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan
pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia,
telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini
dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya
kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu
sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri,
hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara
suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain
dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya
masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik
atas perkawinan yang terjadi antara mereka.
Mengenai permasalahan
di atas, Komisi B MUI yang khusus memiliki tugas untuk berfatwa menjelaskan
bahwa tetap sahnya nikah tersebut dikarenakan syarat dan rukun di dalam
perkawinan telah terpenuhi, oleh karenanya tidak ada lagi halangan yang dapat
membatalkan pernikahan tersebut, dalam hal ini menurut mereka adalah dalam
ruang hukum Islam bukan dalam ruang hukum nasional.[13]
5.
Perundang-undangan
Undang-undang No. 22 Tahun 1946, tanggal 21 November
yang terjadi sejak 2 November 1954 melalui Undang-undang No. 32 tahun 1954. Tanggal 26 oktober 1954 (LN. 1954 No. 98), yakni Hukum Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk mengatur tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di Indonesia bagi orang Islam. Dalam pasal 1 UU no. 22 Tahun 1946 ditentukan bahwa:
"Nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh petugas pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditujuk olehnya."
Dalam
perkembangannya, UU No.1/1974 tentang perkawinan menempatkan pencatatan
pencatatan suatu perkawinan pada tempat yang penting sebagai pembuktian telah
diadakannya pernikahan. Hal ini diatur dalam Undang-undang pernikahan pasal 2
ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Pencatatan
bukanlah suatu hal yang menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Dalam
Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi pada tahun 1953 No. 23/19 menegaskan
apabila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka nikah tersebut
tetap sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda karena tidak
didaftarkannya pernikahan tersebut.
Dalam kompilasi
Hukum Islam, masalah pencatatan nikah diatur dalam pasal 5-7, yakni:
Pasal 5
1.
Agar terjamin ketertiban pernikahan bagi masyarakat Islam setiap
pernikahan harus dicatat.
2.
Pencatatan pernikahan pada ayat (1), dilakukan oleh petugas pencatat nikah yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undan No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
1.
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap pernikahan harus dilangsungkan
dan dibawah pengawasan pegawai pencatat pernikahan.
2.
Pernikahan yang dilakukan di
luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuasaan hukum.[14]
Lembaga
pencatatan nikah merupakan syarat adminstratif, selain substansinya bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban hukum. Dalam hal ini dapat dikatakan jika pencatatan
nikah memiliki manfaat, yaitu manfaat preventif dan manfaat represif. Memiliki
manfaat preventif maksudnya adalah untuk menanggulangi agar tidak terjadi
kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat pernikahan, baik menurut hukum agama
maupun hukum perundang-undangan.[15]
D.
Istinbath Hukum Nikah Bawah Tangan dan Kedudukan Pencatatan Nikah
Menurut hukum Islam, pernikahan bawah tangan adalah sah, asalkan
telah terpenuhi syarat dan rukun pernikahan. Namun dari segi perundang-undangan
pernikahan yang semacam ini belum lengkap karena belum dicatatkan. Pencatatan
pernikahan ini hanya merupakan syarat administratif yang tidak berpengaruh
terhadap sah atau tidaknya suatu pernikahan.[16]
Berbicara
tentang sertifikasi akad nikah secara tertulis di lembaran-lembaran kertas
resmi oleh petugas agama, maka hal itu mempunyai nilai penting yang besar.
Karena mengandung bentuk penjagaan terhadap kehormatan-kehormatan orang,
pemeliharaan hak-hak satu pasangan suami istri dan hak-hak anak-anak. Dokumen
resmi ini akan menjadi dasar kuat di kala terjadi konflik dan pengingkaran.
Kendati
demikian, sertifikasi akad nikah melalui catatan tertulis dan pencatatan dalam
berkas-berkas bukanlah syarat terlaksananya dan legalisasi pernikahan.
Penikahan itu tetap sah dan konsekuensi-konsekuensinya berlaku ketika
rukun-rukun dan syarat-syarat nikah sudah terpenuhi, walaupun belum
disertifikasi secara resmi. Putusan ini berdasarkan hal-hal berikut ini:
1.
Tujuan dari sertifikasi dengan dokumentasi yang resmi adalah
pemeliharaan hak-hak suami istri dan hak-hak anak. Seluruh perkara ini
(pemeliharaan akan semua perkara) akan terwujud dengan persaksian saksi-saksi,
pemberitahuan umum tentang pernikahan, publikasinya melalui acara pesta dan
walimahan.
2.
Tidak ada dalil Syar’i yang menyatakan disyaratkannya pengukuhan
pernikahan melalui dokumen resmi dalam akad nikah. Seperti dlam firman Allah
SWT,
Hai orang yang beriman agama jika Tdaantm tidak terbatas Vaketboh
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya." (Al-Baqarah: 282)
Menurut pendapat yang paling shahih dalam pandangan jumhur ulama adalah, bahwa perintah tersebut untuk anjuran dan pengarahan saja, bukan bersifat wajib.
3.
Sertifikasi pernikahan belumlah menjadi realita yang berkembang di
masa Rasulullah dan masa sahabat.
4.
Pernyataan disyaratkannya sertifikasi pernikahan dengan tulisan
resmi mengakibatkan ketidaknyamanan dan kesulitan besar, khususnya di
pelosok-pelosok daerah dan daerah pedalaman, di mana pendudukanya tidak dapat
menjumpai petugas pencatat resmi dengan mudah.
Sebagian ulama
dan para penulis kontemporer, termasuk Syaikh Ali ath-Thanthawi, Syaikh Doktor
Yusuf al-Qardhawi dan lain-lain berpandangan wajibnya persoalan sertifikasi
pernikahan secara tertulis dan pendataannya dengan resmi. Barangsiapa tidak
mendaftarkannya, berarti telah berbuat dosa besar dan dikenakan sanski dengan
hukuman yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa), meskipun akad
nikahnya (tetap) sah jika tidak disertifikasi. Dalil mereka adalah:
1.
Berguna untuk menetapkan hak-hak dan hukum-hukum suami istri,
memelihara hak-hak anak.
2.
Bahwa Waliyul amr (penguasa) sudah mengeluarkan kebijakan
tentang sertifikasi dan menetapkannya. Dan taat kepada waliyul amr
merupakan kewajiban. Dalam konteks ini, penguasa telah memerintahkan pencatatan
pernikahan secara formal. Maka, itu menjadi sebuah kewajiban, dan orang yang
meninggalkannya berdosa serta dikenai sanksi.
Pendapat ini memiliki sudut pandang tersendiri untuk diterima,
lantaran kekuatan dasar yang akan mereka jadikan sebagai dalil, dan karena
menghindarkan sumber-sumber kerusakan dan akan mendatangkan kebaikan-kebaikan
termasuk bagian prinsip penting dalam syariat Islam. Sementara aturan-aturan
administratif yang telah diregulasikan secara mengikat oleh Undang-undang
Urusan Catatan Sipil, termasuk didalamnya pendataan akad-akad nikah yang
disebut oleh ulama fikih zaman ini dengan istilah ‘syarat-syarat perundangan’
merupakan syarat-syarat yang memang digulirkan guna mendatangkan kemaslahatan
dan menghindari bahaya.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Nikah bawah tangan merupakan pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam).
Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan.
Dalam dalil nash, posisi pencatatan nikah mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 282-283 tentang dalil yang menunjukkan disyariatkannya penguatan (hak milik) secara umum, dan pencatatan secara tertulis khususnya. Sedang dari Hadits secara implisit ada tiga hadis yang terkait dengan pencatatan yaitu terkait anjuran mengumumkan pernikahan, terkait ketidaksukaan Nabi menyembunyikan pernikahan, adanya anjuran mengadakan walimah (perayaan pernikahan).
Kedudukan pencatatan nikah jika ditinjau berdasarkan hasil ijtima’
yang dilakukan oleh MUI, bahwa pencatatan nikah dalam kasus nikah bawah tangan
merupakan upaya untuk menjaga ketertiban
pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk
melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari
terjadinya perkawinan.
Pencatatan pernikahan dalam Indonesia telah diatur dalam Undang-undang
No. 22 Tahun 1946, tanggal 21 November
yang berlaku sejak 2 November 1954 melalui Undang-undang No. 32 tahun
1954. Tanggal 26 oktober 1954 (LN. 1954 No. 98), yakni tentang pencatatan nikah,
talak, dan rujuk di Indonesia bagi orang Islam.
Hukum nikah bawah tangan adalah tetap sah, sedang pencatatan
pernikahan hanya merupakan syarat administratif yang tidak berpengaruh terhadap
sah atau tidaknya suatu pernikahan. Namun sebagian ulama dan para penulis
kontemporer, berpandangan wajibnya persoalan sertifikasi pernikahan secara
tertulis dan pendataannya dengan resmi. Barangsiapa tidak mendaftarkannya,
berarti telah berbuat dosa besar dan dikenakan sanski dengan hukuman yang
ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa), meskipun akad nikahnya (tetap)
sah jika tidak disertifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Duraiwisy, Yusuf. 2010. Nikah Sirri, Mut'ah dan Kontrak: dalam Timbangan al-Qur'an dan as-Sunnah . Muhammad Ashim (penerjemah). Jakarta: Darul Haq
Rasjid, Sulaiman. 1989. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Somad, Abd. 2010. Hukum Islam. Jakarta: Kencana
‘Uwaidah, Kamil Muhammad. 1996. Fiqih Wanita. Jakarta:
Pustaka al Kautsar
[1] Abd. Somad, Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010),
hlm. 272-273
[2] Kamil Muhammad
‘Uwaidah, Fiqih Wanita, ( Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1996), hlm. 375
[3] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm. 348
[4] Abd. Somad, op. cit., hlm. 275-276
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), hlm. 69-70
[6] Sulaiman
Rasjid, op.cit., hlm. 348
[7] Ibid ., hlm. 309
[8] http://gubukhukum.blogspot.com/2012/08/nikah-dibawah-tangan.html
[9] Sulaiman Rasjid, op. cit., hlm. 309
[10] Yusuf ad-Duraiwisy,
Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak: dalam timbangan al-Qur’an dan as-Sunnah,
Muhammad Ashim (penerjemah) (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 82-88
[11] http://gubukhukum.blogspot.com/2012/08/nikah-dibawah-tangan.html
[12] Yusuf ad-Duraiwisy, pada. cit ., hlm. 90
[13]
http://gubukhukum.blogspot.com/2012/08/nikah-dibawah-tangan.html
[14] Abd. Shomad, op. cit., hlm. 294-296
[15] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 111
[16] Sulaiman Rasjid, op. cit., hlm. 309
[17] Yusuf ad-Duraiwisy, pada. cit ., hlm. 92-99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar